Mengakhiri Polemik 'Sekolah Pagi', Naif jika Terus Dipaksakan
Pemerintah NTT melalui Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat, meminta pihak Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di wilayah Kota Kupang, memulai jam pelajaran pada pukul 05.00 WIB. Kebijakan ini konon ditempuh agar siswanya terutama kelas XII akan masuk ke 200 perguruan tinggi ternama di Indonesia.
Kebijakan pendidikan memang sering abai perkara murid dan guru. Dalam kebijakan pendidikan termasuk kurikulum, guru dan murid seolah hanya pelengkap semata. Selama ini dua sosok guru dan murid sering disingkirkan dalam pengambilan kebijakan di sekolah maupun instansi pendidikan.
Apa yang diwacanakan dan dipaksakan oleh Gubernur NTT Victor Bungtilu juga pun menafikkan murid. Meski semua guru berkumpul menyepakati kebijakan sekolah pagi, murid dan orangtua seolah tidak terdengar suaranya.
Sebagai yang terkena dampak kebijakan ini, murid dan orangtua seolah diabaikan. Sekolah seolah menjadi ruang bagi penguasa atau pemerintah untuk menentukan masa depan murid. Murid diatur, ditata dan digiring sedemikian rupa bak kawanan bebek yang mau ke sawah mencari makan. Mereka tidak diizinkan bertanya, mempertanyakan apalagi memprotes kebijakan.
Kebijakan Teknis
Kebijakan memasukkan anak jam 5 pagi sejatinya adalah kebijakan teknis. Ia tak mendidik pada mentalitas hadap masalah sebagaimana Paulo Freire mengkritik kebijakan macam ini. Ujung kebijakan ini adalah masuk kampus favorit dan dapat kerja enak.
Logika seperti ini memang bukan logika pendidikan melainkan logika teknokrat. Kebijakan pendidikan mesti berdasar riset dan data serta filosofi yang jelas. Bila ingin anak berpikir kritis, mandiri dan jadi ilmuwan, tentu bukan semata teknis memasukkan anak pada pagi hari semata.
Didiklah anak-anak kita olahraga, didik mereka kritis dan memiliki gairah membaca. Tanpa gairah membaca dan gairah belajar tinggi, buat apa kebijakan sekolah pagi? Kebijakan sekolah pagi hanya akan menjadi pendidikan ala militeristik semata yang mendidik mereka baris-berbaris dan bangun pagi saja.
Mereka anak-anak SMK maupun SMA ini hanya jadi seperti kawanan domba yang membebek pada tuannya tanpa menimbang dengan daya kritis dan logis.
Melawan Konsep "Merdeka Belajar"
Kebijakan sekolah pagi dengan memasukkan anak jam 5 pagi secara tidak sadar juga menunjukkan kegagalan konsep "belajar". Sekolah seolah hanya bimbel privat elit yang hanya diperlukan saat mau tes masuk perguruan tinggi.
Belajar di kelas X dan XI seolah tidak ada artinya, karena di kelas XII mereka harus dipaksa mengerjakan segudang soal untuk tes masuk perguruan tinggi favorit.
Konsep seperti ini jelas bertentangan dengan konsep merdeka belajar. Nadiem Makarim justru hendak memberi fleksibilitas dalam memilih minat para siswa di level SMK/SMA. Anak boleh memilih jurusan dan pelajaran yang mereka sukai. Harapannya mereka bisa senang belajar dan belajar dengan riang.
Ini sesuai konsep sekolah itu sendiri yang memang menyenangkan dan mengisi waktu luang. Sekali lagi bukan paksaan dan atas dasar desakan orang dewasa apalagi pemerintah.
Terlalu naif bila kebijakan yang nirdasar, tidak visioner dan sangat teknis ini dilanjutkan dan dipaksakan. Para murid harus disurvey diberi hak bersuara agar belajar sesuai keinginan mereka, dari nurani mereka. Tanpa itu, pendidikan tidak lebih seperti menggiring kawanan domba ke jurang kehancuran.
Sumber: suara
Foto: Ilustrasi sekolah subuh di NTT. [Suara.com/Iqbal]
Mengakhiri Polemik 'Sekolah Pagi', Naif jika Terus Dipaksakan
Reviewed by Admin Pusat
on
Rating:
Tidak ada komentar